Jakarta, 21 November 2024 – Hari ini, bersama Aliansi Akademisi Komunikasi Indonesia untuk Pengendalian Tembakau (AAKIPT) dan Pusat Kajian Literasi Kesehatan dan Gender LSPR Institute of Communication & Business, Komite Nasional Pengendalian Tembakau menyelenggarakan diskusi publik untuk menyoroti aturan pelarangan iklan produk tembakau dan rokok elektronik di media sosial yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2024 tentang Kesehatan. Tema diskusi publik ini sangat menarik mengingat pasal yang akan didiskusikan ini merupakan aturan baru setelah selama ini Indonesia tidak pernah benar-benar melarang iklan rokok di media apapun, kecuali larangan parsial yang berlaku di daerah terkait Kawasan Tanpa Rokok.

Dalam pasal 446 ayat (1) PP 28/2024, secara tegas diatur bahwa produsen, importir, maupun pengedar rokok konvensional dan rokok elektronik dilarang mengiklankan produknya di media sosial. Kemudian pada ayat selanjutnya (2) ditandaskan bahwa menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika melakukan pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik terhadap penjualan produk tembakau dan rokok elektronik pada media berbasis digital berdasarkan rekomendasi kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

Pembatasan pemasaran produk rokok sudah dibatasi di media sosial, hal ini untuk melindungi kesehatan masyarakat dan mengurangi paparan produk rokok terhadap anak dan remaja. Namun, pada kenyataannya iklan ini seringkali masih dimanfaatkan oleh industri rokok untuk mencoba membangun citra merek dan menciptakan hubungan emosional dengan konsumen melalui pendekatan yang lebih halus dan tidak langsung. Iklan rokok di media sosial berpotensi mempengaruhi perilaku merokok di kalangan anak dan remaja di Indonesia.

Sebanyak 21,4% orang Indonesia terpapar iklan rokok di internet (Global Adult Tobacco Survey – GATS 2021), meningkat tajam 11 kali lipat dalam satu dekade yang sebelumnya “hanya” 1,9% (GATS 2011). Keterpaparan iklan rokok di internet atau media sosial pada remaja usia 13 – 15 tahun bahkan sangat tinggi, mencapai 36,2% (Global Youth Tobacco Survey – GYTS 2019). Studi London School of Public Relation pada 2019 juga membuktikan terpaan iklan rokok di internet sangat tinggi pada remaja Indonesia, mencapai 80,3% di Youtube, 58,4% di situs, 57,2% di media sosial Instagram, dan 36,4% di platform online game. Dampaknya, 100% remaja yang merokok akan tetap merokok setelah melihat iklan rokok di media online dan 10% remaja memiliki kecenderungan untuk merokok setelah melihat iklan rokok di media online. Fleksibilitas media online membuat industri semakin kreatif dan cepat menangkap peluang dengan membuat berbagai bentuk iklan di internet, termasuk di media sosial.

“Tantangan larangan iklan di media sosial akan timbul jika konten-konten yang muncul sifatnya personal dan bukan sebagai komunikasi komersil atau tidak ada pembayaran. Jadi, aturan ini harus bisa beradaptasi pada publisitas rokok (bukan hanya iklan) dalam aturan yang bersifat teknis,” ungkap Prof. Dr. Eni Maryani, M.Si, Ketua Aliansi Akademisi Komunikasi Indonesia untuk Pengendalian Tembakau dalam paparan pemantiknya.

Sebagai upaya penerapan aturan larangan iklan rokok di media sosial, Dr. Benget Saragih, M.Epid, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau (PPAT) P2PTM Kementerian Kesehatan menegaskan bahwa, “Kami tidak mau ada aturan tapi tidak diterapkan. Jadi, kami siapkan aturan teknis untuk penerapannya, Kementerian Komunikasi dan Digital harus melakukan “take down” pada konten-konten yang melanggar berdasarkan rekomendasi dari Kementerian Kesehatan.”

Perkembangan media sosial yang sangat cepat dengan bentuk-bentuk konten yang sangat fleksibel membuat industri rokok leluasa memilih cara-cara baru untuk mempromosikan produk mereka, termasuk melalui influencer dan content creator di media sosial. Melihat fenomena tersebut, Ivan Kabul, presenter dan influencer menanggapi hal ini. “Tawaran industri rokok itu memang sangat menggiurkan. Namun ketika tawaran tersebut datang, saya tidak akan melawan hati nurani. Dari sisi birokrasi, kita tetap perjuangkan. Tapi dari dari sisi saya, kalau kita mampu meng-influence, berilah influence yang baik dan menarik. ”

Daniel Beltsazar Jacob, S.K.M, Indonesian Youth Council For Tactical Change (IYCTC) menjelaskan adanya upaya pelemahan regulasi, “Aturan larangan iklan rokok di media digital sayangnya memang hanya berlaku di media sosial, padahal di PP 28/2024 sendiri disebutkan juga ada aplikasi penjualan dan situs/web sehingga memang masih banyak lubang yang bisa digunakan industri rokok untuk mempromosikan atau mengiklankan produknya. Namun kami optimis, larangan iklan di media sosial dapat mendukung upaya menekan konsumsi rokok di kalangan remaja jika bisa segera diterapkan.”

Penerapan pasal larangan iklan rokok di media sosial mendesak dilakukan, terutama mengingat penetrasi konten digital di media sosial begitu besar kepada remaja. Hal inilah yang perlu disadari oleh seluruh pihak untuk dapat mendukung penerapan aturan tersebut demi perlindungan masyarakat dari paparan iklan produk zat adiktif yang berbahaya.

“Dalam aturan ini, warganet atau khalayak juga perlu diaktifkan untuk melakukan pelaporan, agar bisa dilibatkan untuk mendorong secara masif dan 24 jam. Kekuatan warganet luar biasa dan harus diberdayakan,” tambah Prof. Eni dalam penutupnya. Dalam hal ini, bisa dimulai salah satunya melalui aduankonten.id yang dimililki Kementerian Komunikasi dan Digital.

 

Tentang Komnas Pengendalian Tembakau:

Merupakan organisasi koalisi kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang penanggulangan masalah konsumsi produk tembakau, didirikan pada 27 Juli 1998 di Jakarta, beranggotakan 23 organisasi yang terdiri dari organisasi profesi kesehatan, organisasi masyarakat, dan kelompok yang peduli akan dampak buruk dan bahaya produk tembakau bagi kehidupan, khususnya bagi generasi muda dan keluarga miskin. Info: www.komnaspt.or.id